AKU WONG NDESA (MY VILLAGE IS MY PARADISE)

Pemandangan dilihat dari bukit Kalisadang

www.masdarsono.com-AKU WONG NDESA (MY VILLAGE IS MY PARADISE)

Terlahir sebagai orang desa
Selamat pagi sobat desa yang berbahagia 🙂
Sebagai anak desa atau cah ndesa sungguh saya tidak perlu minder, bahkan harus bangga dilahirkan dan hidup di tengah masyarakat desa yang tak lagi sederhana. Mbuehehe.

Kebanggan yang saya maksud bukan berarti kesombongan, tapi sangat sombong. Mbahaha….

Yupz, setidaknya ada beberapa alasan yang bisa saya gunakan untuk menggambarkan betapa bangganya saya sebagai cah ndesa.


Yang pertama, desa saya bukanlah kota. Hahahaa…
Yang kedua, cowok-cowok yang lahir disana ganteng-ganteng. Ceweknya cantik-cantik… Mbuehehehe.

Dah lah itu saja.

Salah satu sudut desaku tercinta

Desa dengan segala potensinya

Hidup di desa bukan berarti hidup dengan ketiadaan sumberdaya.

Masing-masing tempat, baik kota maupun desa pastilah memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Potensi yang tentu saja mempunyai nilai maslahat bagi segenap ummat… Cieeee… Bahasanya.

Tak terkecuali di desa!
Pastilah ada potensi yang bisa dikembangkan.

Dan inilah sebenarnya inti dari postingan saya. Menggali potensi desa untuk dapat mensejahterakan wong-wong ndesa kayak saya 🙂

Tulisan ini bukanlah studi ataupun survey layaknya para ilmuwan maupun peneliti yang menggunakan berbagai metode survey. Bukan!

Sebagai tukang tambal hati mantan, metode yang saya gunakan untuk mencari potensi desa saya adalah dengan menggunakan intuisi saya.

Asal tahu saja, untuk mendapatkan intuisi semacam itu kalian harus berendam di kali Tajum sehari semalam, jungkir jempalit di atas trotoar,dan menyantuni janda-janda kembang. Wkwkwkwkwk….

Bagi saya yang hidup puluhan tahun di tempat kelahiran, tentu saja saya sangat mengenal desa saya. Mungkin tidak semua orang seperti itu. Tapi saya pikir, minimal sekali orang-orang yang tinggal di kampung pastilah paham tentang beberapa hal, termasuk potensi yang ada di lingkungan sekitarnya.

Karnaval tingkat kecamatan…Sssttt… ada anak dari kampung ku ituh.. Nyang megang hape …

Potensi yang pasti ada di desa

Untuk mencari potensi desa, berdasarkan intuisi saya tentunya, sebenarnya tidaklah sesulit memutuskan pacar. Wakwaw!

Pasti ada potensi yang secara kasat mata (apa pula itu) begitu jelas terlihat. Budaya dan alam.

Yupz… Desa sebagai salah satu komunitas kehidupan yang terbilang “tua” pastilah memiliki daya tarik berupa budaya dan alam.

Kalau kita mengambil definisi budaya menurut Ki Hajar Dewantara, maka amatlah luas mengenai budaya desa tersebut.

Dari keluasan itulah kita bisa memetakan, mana budaya yang lebih dominan.

Saya kasih contoh di desa kelahiran saya, Gentawangi.

Di desa saya ini ada beberapa budaya yang terbilang menonjol.

Budaya dalam bentuk upacara ritual dan kesenian terbilang dominan disini.

Dalam kegiatan ritual pun masih bisa kita petakan lagi.

Dengan menggunakan intuisi saya, upacara ritual tersebut saya bagi berdasarkan sang pelakunya. Ada ritual individu dan ritual kelompok/ritual desa.

Ritual individu berhubungan dengan ritual yang dilakukan oleh person warga desa. Misalnya upacara nujuh bulanan, tedhak siti, pernikahan dan kematian.

Ritual kelompok atau ritual desa, di tempat kelahiran saya ada ritual sedekah bumi dan perlon.

Ritual-ritual tadi (individu dan kelompok) yang telah saya sebutkan adalah ritual-ritual yang bisa dikatakan dominan di kampung saya.

Untuk potensi seni, di kampung halaman saya ini terdapat beberapa kelompok seni tradisonal yang sudah melegenda, salah satunya adalah ebeg (kuda lumping) yang sudah turun temurun. Entah keturunan keberapa yang saat ini biasa tampil. Saking lamanya 🙂

Selain grup ebeg, ada juga beberapa penari tradisional yang bisa lenggeran. Grup kenthongan pun ada di kampung saya.

Dan yang menurut saya FENOMENAL adalah grup kesenian MENOREK.

Sampai saat ini pun saya belum begitu paham tentang kesenian menorek. ASELI.

Bahkan beberapa waktu lalu, ada beberapa mahasiswa yang mengadakan studi tentang kesenian menorek.

Konon, di Banyumas ini, kesenian menorek hanya ada di desa saya.

Oleh sebab itulah, jika ada event-event mulai dari tingkat kecamatan hingga provinsi, grup kesenian MENOREK dari desa saya selalu ditunjuk untuk mewakilinya.

Berikut sekelumit pengetahuan tentang seni MENOREK yang saya ambil dari blog wong Banyumas

Menorek/Menoreng merupakan drama tradisional Banyumas versi islami dengan menyajikan cerita bebas. Bisa berupa fiksi atau babad, baik yang bersumber dari cerita islami mapun cerita lokal Banyumas. Dalam pertunjukannya, menorek diiringi dengan menggunakan alat musik trabang/genjring. Saat ini menorek masih dapat dijumpai di wilayah kecamatan Jatilawang.

Menorek/Menoreng. Drama tradisional Banyumas versi islami dengan menyajikan cerita bebas. Bisa berupa fiksi atau babad, baik yang bersumber dari cerita islami mapun cerita lokal Banyumas. Dalam pertunjukannya, menorek diiringi dengan menggunakan alat musik trabang/genjring.”

Penampilan Grup Menorek dalam acara Banyumas EXTRAVAGANZA

Salah satu potensi yang ada di desa saya, yaitu  budaya sudah bisa kita temukan.

Potensi selanjutnya adalah potensi alam.
Ini merupakan potensi yang akhir-akhir ini terbilang “mudah” diviralkan. Dengan catatan, alam yang hendak kita viralkan tersebut memiliki nilai estetis atau keindahan yang tinggi.

Dan lagi-lagi, masih menurut intuisi saya tentunya, ada beberapa tempat yang bisa diviralkan karena keindahannya.

Hamparan sawah, sungai tajum disertai pemandangan pegunungan kalisadang, dan bukit kalisadang itu sendiri tentunya. Khusus mengenai bukit kalisadang, silahkan baca postingan saya di link ini.

Pemetaan potensi desa tempat kelahiran saya selesai sudah. Thank intuition 😉
Selanjutnya apa?

Nah….. Ini menarik.
Tapi sebelum membaca lebih lanjut postingan saya ini, ada baiknya teman-teman kunjungi blog milik teman saya, mas Kikis. Beliau adalah sahabat lama saya.

Dan saya baru tahu, ternyata mas Kikis ini blogger juga. Bahkan pernah menjuarai kompetisi blog yang diadakan oleh OJK.

Mas kikis adalah pegiat desa membangun. Sepak terjangnya bisa teman-teman lihat pada link yang akan saya bagikan.

Monggo baca postingan mas Kikis pada link ini.

Jika sudah membaca tulisan mas kikis tersebut, saya pikir teman-teman, khususnya yang tinggal di desa sudah mulai ada gambaran.

Gambaran apakah?

Gambaran mengenai pengembangan potensi yang ada di desa, khususnya potensi alam.

Baca dulu yah!


Mengenalkan dan mengembangkan potensi desa untuk kemaslahatan bersama

Salah satu sudut Gentawangi

Kita lanjutkan….
Jujur, sebagai cah ndesa, salah satu keinginan saya adalah mengenalkan desa kelahiran saya kepada seluruh umat. Hehehe.

Salah satu cara yang bisa dilakukan ya dengan cara mengenalkan budaya dan alamnya (sesuai pemetaan potensi tadi).

Dan sekali lagi, ini adalah pendapat pribadi. Semoga ada teman-teman yang sekampung dengan saya yang bisa ikut mewujudkan cita-cita ini. Cita-cita yang mana? Ya mengenalkan kampung halaman dimana pengenalan tersebut berujung pada kemaslahatan untuk masyarakat desa saya 🙂

Setelah teman-teman membaca postingan mas Kikis, saya pikir teman-teman sudah mulai paham apa yang ada dalam pikiran saya 🙂

Ya apa lagi kalau bukan menjadikan desa saya sebagai salah satu destinasi wisata alam dan budaya.

Sungguh perpaduan yang luar biasa andai hal tersebut bisa diwujudkan.

Pemikiran saya, bukit Kalisadang yang juga dimiliki oleh beberapa desa tentunya bisa dijadikan wisata alam.

Dengan menggandeng desa-desa yang ada di sekitar bukit Kalisadang, bukanlah hal yang mustahil untuk mewujudkannya. Apalagi di jaman now, dana desa bisa digunakan untuk “menolong” mewujudkannya 🙂

Selain bukit Kalisadang, di desa saya juga sungai Tajum yang mengalir dari Ajibarang dan bermuara pada pertemuan dengan Serayu, sungai besar di eks Karesidenan Banyumas.

Wisata air menjadi salah satu solusinya. Apalagi perahu bukanlah sesuatu yang asing.

Dulu sekali sebelum ada angkutan pedesaan yang masuk ke kampung kami, warga desa sudah terbiasa menggunakan perahu kayu untuk pergi ke kecamatan kota.

Hamparan pemandangan berupa ladang-ladang dan bukit kalisadang bisa menjadi daya tarik tersendiri.

Selain wisata alam, wisata budaya berupa sedekah bumi dan Perlon-pun bisa dijadikan sebagai andalan wisata.

Sedekah bumi yang setahun sekali memang sudah klop dengan wayang kulit dan ebeg.

Kalau ada sedekah bumi, otomatis desa pun “nanggap” wayang kulit. Siang hari dan pada malam hari.

Selain itu, ebeg-pun biasa dipentaskan ketika ada ritual sedekah bumi ini. Ini ritual tahunan.

Untuk ritual bulanan, ada ritual yang bernama Perlon.

Untuk mengetahui apa itu Perlon, silahkan teman-teman bisa baca di sini. Wikipedia ini.

Hanya saja, tolong dicatat, apa yang ada di Wikipedia tersebut hanya membahas perlon unggahan, perlon yang hanya dilaksanakan ketika menjelang Ramadhan saja. Aslinya, perlon dilaksanakan setiap bulan.

CATAT JUGA : Perlon tidak hanya ada di Pekuncen. Tapi juga di Gentawangi, kampung halaman saya.

Konon katanya, leluhur Gentawangi dan Pekuncen kakak beradik.

Di Gentawangi, desa saya lebih tua.

Oleh karena itulah jika ada perlon besar, anak keturunan pengikut Bonokeling pada “ngilir” alias datang ke Gentawangi.

Bagi pengikut yang sangat njawani, mereka berjalan kaki tanpa menggunakan kendaraan apapun.

Padahal jaraknya belasan kilometer dan menyeberangi sungai.

Pertemuan dua keluarga besar dalam satu tradisi ini merupakan salah satu kekayaan yang tidak dimiliki oleh beberapa desa yang notabene bertetangga dengan desa Gentawangi dan Pekuncen.

Dulu memang ada di beberapa desa, tapi itupun masih keturunan Bonokeling dan Gentawangi/Tinggarwangi/Glagahwangi.

Sekarang hanya ada di Gentawangi dan Pekuncen. Lainnya musnah ditelan jaman 🙂

Wah panjang banget yah postingannya? Hehehe…

Gentawangi inih 😉

Kesimpulan:
1. Setiap desa memiliki potensi
2. Potensi dipetakan
3. Pilih yang paling dominan
4. Viralkan, menurut saya, yang lagi kekinian adalah dengan jalan menjadikan desa sebagai destinasi wisata. Bisa wisata budaya, bisa wisata alam.
5. Jaga dan lestarikan potensi-potensi dominan tersebut.
6. Kembangkan potensi lainnya

Intinya…. My Village is my Paradise.

Aku bangga jadi cah ndesa.

Hehehe…

4 pemikiran pada “AKU WONG NDESA (MY VILLAGE IS MY PARADISE)”

  1. G masalah mas mau jadi orang desa atau kota, tetap bangga dengan asal muasal.
    Yang perlu dipikirkan sekarang bagaimana desa tempat tinggal kita maju agar kehidupan rakyatnya makmur. Selebihnya sudah mas jelaskan juga di postingan ini, salah satunya dengan menggali potensi budaya. Semoga g cuma desanya mas aja yg makmur, tapi seluruh desa di Indonesia sama begitu

    Balas

Tinggalkan komentar