NYOLONG MANGGA

Entah kenapa pada malam ini saya ingin bernostalgia dengan masa kecil saya yang penuh dengan keceriaan. Mungkin karena tadi pagi, pas saya baca blognya kang Agus Mulyadi sehingga mak bejenjut, dengan tiba-tiba saja saya terinspirasi untuk menulis masa kecil saya dulu. Terima kasih gus (Agus Mulyadi)… Blogmu emang nggatheli.. Wkwkwkwk….

Kalau kang Agus bercerita perihal rambutan, malam ini saya bercerita tentang buah yang identik dengan kata “nyolong”

Apalagi kalau bukan buah mangga.

Kenapa identik dengan kata nyolong? Karena pada zamannya, buah ini ditakdirkan sebagai buah yang “wajib”  dicolong/dicuri.

Saya sendiri bingung, dari sekian banyaknya buah, mulai dari buah belimbing, buah jambu, buah d4d4 entah kenapa mangga menjadi salah satu janda bahenol yang wajib dinikmati dicolong oleh anak-anak. Jika sampeyan bertanya kenapa musti buah mangga, sayapun tidak tahu mengapa. Yang jelas, di zaman saya masih kanak-kanak dulu (bahkan hingga saya berumur belasan tahun), buah mangga menjadi salah satu objek pencurian terfavorit bagi anak-anak desa seperti kami.

Bahkan muncul adagium, “Bukan anak desa kalau belum pernah mencuri buah mangga.” Nah lho… Kekinian banget kan prendz?

Ada salah satu kisah yang tidak mungkin saya lupakan hingga saya lupa tentunya. Wkwkwk… Ini adalah kisah pencurian mangga sebrutal-brutalnya. Konspirasi terbesar dan terjahat dari pelaku pencurian sepanjang hidup kami sebagai anak ndeso… Hahahhaa…LEBAY 🙂

Saya lupa tepatnya tahun berapa. Kalau tidak salah ketika itu saya masih SMA. Belasan tahun, masih imut, dan masih suka menghirup asap rokok tentunya (jangan ditiru yah).

Begini ceritanya…

Kala itu, peringatan hari kemerdekaan lagi ramai-ramainya di berbagai pelosok kampung. Namanya pitulasan (tujuh belasan), pastilah di setiap kampung di Banyumas ini banyak aneka perlombaan dan tontonan, salah satunya tentu saja acara resepsi yang merupakan acara puncak dari peringatan pitulasan ini.

Tahun 90-an akhir (ketahuan tua nya inih), merupakan tahun yang bisa dikatakan masih rawan. Ketika itu reformasi masih bayi, kerusuhan dan keamanan belum pulih benar. Tapi sebagai bujangan yang menyandang gelar jomblo akut pendekar kampung (pendek kekar kalau mau papung), kami dengan beraninya bermain kesana kemari mencari hiburan… (Argh coba kalau waktu fesbuk sudah ada… gak bakalan terjadi cerita seperti ini).

Malam itu kami dapat info kalau ada lengger Banjarwaru di kampung sebelah. Pelak saja dengan menaiki sepeda kami menuju ke tekape (masih pada miskin, belom punya onta maupun kuda).

Kampung itu jauhnya kurang lebih 6-7 kilometeran dari kampung kami.

Berhubung kami harus melewati pegunungan (kampung pisan euyyy), akhirnya sepeda kami, kami titipkan di salah satu rumah saudara saya.

Dengan berjalan kaki, kami menuju tempat pertunjukkan lengger tadi. Kurang lebih hampir satu jam kami baru sampai di tekape.

Gambar lengger.
Sumber : sriuning.wordpress.com

Dasar nasib lagi sial, ternyata bukan pertunjukkan lengger Banjarwaru yang di pertontonkan di acara resepsi tersebut. Melainkan hiburan biasa yang diisi tarian-tarian kekinian yang dibawakan oleh anak-anak TK. Huasyuuuuh!!!!

Ternyata kami terkena berita HOAX. Wkwkwkwkwk….

Kesal, geli, capek bercampur menjadi satu. Alhasil, kamipun pulang dengan membawa keperawanan kekalahan. Mbuehehehe….

Suasana ketika pulang adalah suasana yang sungguh tak bisa dilupakan. 

Kembali kami melewati jalan yang gelap gulita. Bagaimana tidak gelap, lha wong kami harus melewati daerah pegunungan, lebih tepatnya hutan, yang belum terjamah penerangan sama sekali.

Jangankan listrik, obor saja tidak ada! Kamvrt pisan kan?


Tapi ya namanya anak kampung… Hal seperti itu sudah lumrah dialami oleh kami.

Namun yang lagi-lagi bikin syerem adalah…. Pulangnya pada berlari semua. Kurang lebih ada dua puluhan anak waktu itu.

Saya yang jarang berlari akhirnya harus menebus dosa-dosa saya selama ini dengan berada paling buncit diantara mereka.

Sampai di sebuah grumbul yang mendekati jalan raya, mata kami yang sudah terbiasa melihat gadis cantik sesuatu yang aduhai, akhirnya berpikiran jahad!

Yupz, sepanjang jalan di grumbul kecil itu berjejeran pohon mangga yang tidak terlalu tinggi. Bahkan dengan tidak perlu njinjik, buah mangga tersebut bisa dipetik dengan mudahnya. 

Dasar lagi biadab, pohon mangga yang jumlahnya (menurut perhitungan saya), ada lebih dari tiga puluhan tersebut dengan brutalnya kami petik.

Tidak satu atau dua… Setiap anak mencuri mangga tersebut lebih dari dua buah. Bahkan kaos yang kami kenakan kami pakai untuk menampung buah hasil curian tersebut. 

Bukan hanya mencuri… Kami pun kencing sambil berjalan di depan rumah-rumah yang ada pohon mangganya tersebut. Ah, sungguh kurang pacar. Wkwkwkwk….

Dan herannya, tak ada satupun pemilik rumah/mangga yang menghardik kami. Jangankan menghardik, keluar sajah tidak! Hahahaha…. Takut kali yeee….

Setelah sampai di jalan raya, jalan yang sudah agak jauh dari grumbul tempat kami..ehem..mengambil mangga, kamipun mulai menikmati colongan mangga kami.

Ahay, dasar lagi apes… Ternyata mangganya kecut alias tidak manis sama sekali. SEMUANYAH!

Hahahaha….

Malam yang terhasyu-hasyu… Sudah ndak bisa nonton lengger, mangga curianpun hambar tak ada rasa.

Sebagai bentuk kemarahan, kencinglah kami berurutan di jalan raya tersebut. Air kencing kami, kami bentuk tulisan STOP di tengah jalan raya yang ketika itu tak ada satupun kendaraan yang lewat. Hahahahaaa…… Apessss…



Sumber gambar  : browsing via google



Tinggalkan komentar