WONG JOWO ILANG SEPARO

Bismillaahirrohmaanirrohiim…

Assalaamu ‘alaikum prends 🙂
Wah, tumben pakai salam nih. Biasanya nyelonong aja kaya maling perawan. eh! 😉

Lagi pengin beda saja nih. Ya kan sekarang tahun 2017. Tambah tahun ya harus tambah gila-nya. Hahahaa… *gila pada kebaikan tentunya (mbok ada yang ngamuk-ngamuk).

Setelah resolusi saya yang baru beberapa hari ternyata gagal, maka mulai malam ini saya akan terus berupaya biar postingan di blog ini semakin banyak dan banyak. Kenapa harus banyak? Karena biar tidak sedikit. Wis!

Nah, untuk postingan kali ini saya kasih judul “Wong Jowo Ilang Separo”

Kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya seperti ini, “Orang Jawa Hilang Separuh”

Maksudnya bagaimana ini? Apakah orang Jawa akan musnah secara massal? Mati/hilang separuhnya gitu? Untuk mengetahui apa sebenarnya yang saya maksud, kita ikuti terlebih dahulu pesan-pesan berikut ini.   Mbuehehe…

Sebelumnya saya mohon maaf kepada saudara-saudara yang lebih ahli dalam hal kebudayaan Jawa. Mbok penafsiran saya keliru, mohon diluruskan. Kalau bisa bukan hanya meluruskan saja, tapi kasihlah saya donasi berupa mobil misalnya. Anak yatim lho saya…  #KAGAK NANYA!

Sebenarnya, judul postingan saya bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelum saya kumisan kayak gini, kalimat tersebut sudah melanglang buana di jagad rimba kosmologi jawa.

Kalimat ini adalah ramalan dari nenek moyang kita terdahulu. Seingat saya, ketika saya kecil, kalimat ini pernah saya dengar dari percakapan para orang tua/sesepuh kami di kampung. Kalimat ramalan tersebut adalah juga sebagai salah satu pertanda molak maliking jaman (perubahan zaman) di nusantara. *Kalau saya bilang nusantara, berarti bukan hanya Indonesia saja lho yah? 🙂

Wong Jowo ilang separo ini bermakna bahwasanya pada suatu hari nanti (bahkan mungkin sekarang sudah mulai terjadi) orang Jawa tidak paham betul dengan kejawaannya, bahkan separuh jawanya sudah tidak ada alias hilang dalam jiwanya.

Tentang kelengkapan dari makna ini, jujur saya tidak mampu untuk menguraikannya secara keseluruhan. Selain ilmu saya yang cetek, sebagai orang jawa, saya sendiri merasa kalau kejawaan saya sudah banyak yang hilang dari jiwa saya.

Sebelum kita bahas hubungan ini lebih jauh…eh… Sebelum kita lanjutkan diskusi kita pada pagi yang pagi banget ini, maka sebelum terjadi banyak syak wasangka, saya jelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kejawaan. Tentu saja ini adalah versi dari saya 🙂

Kejawaan yang saya maksud disini adalah segala hal yang seharusnya ada, dimengerti, dimiliki, serta dipraktekan oleh orang Jawa. Okey…. paham? 🙂

Saya merasa bahwa kejawaan saya memang sudah tidak sepenuhnya ada dalam diri saya. 

Sebagai contoh seperti ini. Dalam budaya jawa, orang yang lebih muda ketika berbicara dengan orang yang lebih tua (apalagi orang tua sendiri), seharusnya menggunakan kromo inggil. Nah, jangankan kromo inggil, kromo alus saja saya masih belepotan.

Itu baru bahasa. Pada kejawaan lainnya saya juga merasa oon alias ora mudheng alias kagak paham 🙂

Kejawaan lainnya seperti apa mas? Filosofi hidup. Wah, marem kiyeh pembahasane. Wkwkwkwk…

Ternyata, para leluhur jawa telah mengajarkan filosofi hidup kepada anak keturunannya dengan menggunakan metode yang sangat hebat. Ini menurut saya 🙂

Dengan  media apa metode pengajaran hidup itu diajarkan oleh moyang kita? Dengan tembang macapat!

Nah lho… Buat kamu yang merasa orang jawa, berapa macapat yang kamu kuasai? Kalau saya paling ya Pucung… Hahaha… Itupun baru hafalannya. Maknanya? Saya belum memahami secara kaffah. Hahahaha…

Jadi luas kan pembahasannya.

Jadi begini saudara-saudara…

Ternyata, tembang macapat merupakan budaya adi luhung  yang sarat dengan filosofi hidup. Yupz, mengajarkan filosofi melalui tembang/lagu. Hebat bukan nenek moyang kita? Ya ea lah… Kagak kayak lagu jaman sekarang…. Lebay dan berorientasi pada INDUSTRI 🙂 

Tidak semuanya mas!

Iya sih… Tapi cobalah lihat nenek moyang kita, tembang yang diciptakan, selain ada kaidah-kaidah berupa guru gatra, guru lagu dan guru wilangan yang njlimet itu, isi dari tembangnya adalah pelajaran-pelajaran kepada anak cucu dan sesama manusia tentunya.

Jangankan isi tembangnya, jenisnya saja sudah mengandung filosofi yang teramat dalam. Maksudnya gemana ini?

Untuk diketahui saja, tembang macapat itu ada 12 jenis. Masing-masing jenis berisi tembang-tembang lagi/syair-syair lagi yang berbeda yang harus disesuaikan dengan kaidah yang berlaku (guru lagu, guru gatra, guru wilangan).

Dari pada pusing, mungkin mudahnya seperti ini. Ibarat jabatan, maka 12 jenis macapat itu adalah jabatan. Nah, dalam setiap jabatan, bisa saja ada tiga, empat, bahkan mungkin seratus. Contohnya presiden. Kan ada presiden Indonesia, Presien Amerika, Presiden RRC, dan lainnya yang sejenis dengan itu.

Bayangkan sob, dari jabatan presidennya saja sudah sarat filosofis, apalagi kalau kita lihat isinya..woww…

Untuk jenis-jenis macapat ini bisa teman-teman telusuri dengan menggunakan browser google. Hehehe…. Iklan!


Kembali ke masalah WONG JOWO ILANG SEPARO. 

Selain ketidakpahaman pada hal-hal yang sudah saya tulis tadi, adalagi kebudayaan jawa yang belum saya ketahui lagi, bahkan bisa dikatakan hilang dari peredaran keilmuan anak-anak jawa pada masa kini. Apakah itu? NAMA WARNA. 

Nah lho……….. Ada yang sudah paham mengenai hal ini?

Sebagai bangsa Indonesia, jujur ketika saya mendapatkan ilmu mengenai nama warna ini, rasa bangga kembali muncul pada diri hamba. Halah!

Ternyata eh ternyata saudara-saudara… Kata-kata seperti BANTENG KETATON adalah NAMA WARNA…. Hayoooo ngaku… Baru tahu kan?

Yupz, banteng ketaton adalah nama dari percampuran warna hitam dan merah.

Bahkan konon, menurut dosen saya yang berhasil membaca buku-buku jawa di Perpusataakan Universitas Leiden sana, kata ijo royo-royo juga merupakan nama dari sebuah warna.

Hmmm… harus ke Leiden ini biar ilmu tentang jawa dan kejawaan semakin bertambah. Hahaha…

Adalagi gak mas kejawaan yang hilang dari diri mas Darsono? Menurut saya sih banyak lagi 🙂

Budaya tirakat, andhap asor, tepa slira, nguwongke uwong, mranaih sedulur dan masih banyak lagi perihal kejawaan lainya yang masih kurang bahkan hilang dari saya.

Intinya sih seperti ini…. Orang JAWA itu adalah orang yang terbuka dan baik hati lho. Hahahaa…

Coba kalian browsing perihal hal-hal yang saya tulis tadi (Budaya tirakat, andhap asor, tepa slira, nguwongke uwong, mranaih sedulur). Belum semua lho itu 🙂

Kalau sisi negatifnya ada ndak mas dalam kejawaan itu sendiri. TENTU SAJA ADA… Tak ada manusia sempurna, tak ada suku maupun budaya yang sempurna. Semua plus minus. Saling melengkapi.

Untuk mengakhiri postingan ini, maka izinkanlah saya tutup dengan kalimat seperti ini, “Sebagai bangsa nusantara marilah kita belajar dan belajar lagi tentang kearifan-kearifan lokal yang ada pada lingkungan kita masing-masing. Ingat, kita adalah keturunan bangsa yang besar. Bukan sebab jumlah maupun kerajaan-kerajaan yang superbesar di zaman dahulu, besar yang saya maksud bahwasanya bangsa nusantara bukanlah bangsa yang terbelakang. Semenjak zaman nenek moyang sudah banyak pengetahuan yang bahkan sampai sekarang pengetahun-pengetahuan tersebut belum bisa dipecahkan dengan menggunakan ilmu yang katanya modern. Silahkan browsing sendiri untuk misteri keajaiban pengetahuan/ilmu nenek moyang kita. Semoga sudah ada yang mengunggahnya… Di tengah isu perpecahan diantara sesama anak bangsa, marilah kita rapatkan barisan. Ingatlah, semenjak zaman kerajaan macam Sriwijaya dan Majapahit, kita sudah diajarkan tentang toleransi, tentang kebhinekaan, tentang persatuan. Semoga dengan belajar pada kearifan-kearifan lokal yang berorientasi pada kebajikan hidup, bangsa kita diselamatkan dari berbagai bentuk penjajahan modern. Save NKRI!”

Wassalaamu ‘alaikum wr.wb.

Keep fight!















Satu pemikiran pada “WONG JOWO ILANG SEPARO”

Tinggalkan komentar